URUTAN WALI NIKAH DAN ATURAN SAKSI


Tanya:
    Bagaimana aturan yang  berlaku dalam masalah perwalian, apakah ada ketentuan-ketentuan tersendiri dalam melakoninya? Setahu saya tidak sembarangan seseorang menggantikan posisi perwalian, ndak ngoten Gus? Dan saya juga minta keterangan singkat masalah saksi. Matur nuwun.
Dari Maulana, Temanggung.

Jawab:
Aturan baku untuk seorang perempuan yang hendak melaksanakan pernikahan adalah keharusan mempunyai seorang wali (sebagai pemegang kuasa), sebelum diserahkan atau dinikahkan kepada pihak laki-laki. Adapun orang  yang bisa menduduki sebagai  wali dalam pernikahan adalah kerabat dari pengantin perempuan secara berurutan dari yang dekat sampai yang jauh. Apabila orang yang berada pada urutan pertama sudah meninggal dunia atau tidak memenuhi syarat-syarat sebagai wali, maka digantikan oleh orang yang berada di bawahnya, dan begitu seterusnya sampai akhir secara berurutan, demikian urutannya:
1.    Ayah
2.    Ayahnya ayah (kakek dari pihak bapak) dan seterusnya
3.    Saudara laki-laki sekandung (kakak/adik).
4.    Saudara laki-laki seayah
5.    Putra saudara laki-laki sekandung, dan seterusnya
6.    Putra saudara laki-laki seayah.
7.    Saudara laki-laki ayah (paman) yang sekandung
8.    Saudara laki-laki ayah (paman) yang seayah
9.    Putra paman yang sekandung
10.    Putra paman yang seayah
11.    Hakim (kepala KUA).

Jadi jelas, benar adanya kalau dikatakan wali ada aturan-aturan tersendiri. Dan yang harus diingat melanggar aturan ini berdampak kuat pada sah dan tidaknya pernikahan.

    Sekarang masalah saksi, dalam pernikahan mereka memiliki kedudukan juga sebagai penentu dalam aqad, apakah aqad nikah tersebut sah atau tidak. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh saksi yaitu:
Laki-laki.
Jelas-jelas manusia.
‘Adalah (Muslim mukallaf yang tidak fasiq)
Dapat melihat, mendengar, berbicara. (tidak buta, tuli atau bisu)
Baligh.
Berakal sehat
Tidak mudah lupa.
Tahu persis lisan orang yang aqad, serta memahami bahasa yang diucapkan dua orang yang sedang aqad.
Tidak merangkap menjadi wali
Tidak Mahjur ‘alaih (tercegah membelanjakan harta)
Tidak dalam keadaan Ihram (haji/umroh).
Bebas dari paksaan.


Yang harus juga diperhatikan adalah salah seorang saksi tidak boleh merangkap menjadi wali, jadi apabila seseorang sudah mewakilkan pernikahan anaknya kepada orang lain, maka ia tidak boleh hadir dalam majlis pernikahan dengan status sebagai seorang saksi, berbeda kalau hanya menghadiri dan posisinya bukan sebagai saksi, maka yang demikian boleh-boleh saja, dan juga tidak boleh saksi diduduki oleh dua orang yang fasiq, bahkan ketika hakim tahu kalau kedua saksi dalam pernikahan yang sudah terlaksana saat itu fasiq maka baginya untuk memisahkan kedua pengantin dan mengulangi aqad lagi dengan saksi yang tidak fasiq, sekian, Wallahu A’lam