HIKMAH DI BALIK NIKAH


Tanya:
    Gus Yusuf, banyak yang kita temukan dalam kehidupan kita rahasia-rahasia yang belum terungkap. Nikah yang saya tahu hanya membina keluarga tidak lebih dari itu. Saya bertanya ke Gus Yusuf, apa sih hikmahnya di balik kita membina keluarga dengan pernikahan? Di jelaskan nggih Gus..
Dari Atiq Nur Halimah MA, Wonosari.

Jawab:
    Wah, kalau beranggapan bahwa nikah hanya semata-mata membina keluarga, saya kira kurang pas. Dik Atiq harusnya menyelami makna nikah terlebih dahulu, baru akan merasakan hikmah yang ada di balik pernikahan. Ada tujuan ada pula hikmah, yang jelas keduanya adalah sesuatu yang berbeda, dan hikmah yang itu bisa adik rasakan tentunya setelah menyelami semuanya, tidak bisa setengah-setengah. Baik akan saya tuturkan beberapa hikmah nikah yang saya temukan dari beberapa referensi:

Memperoleh keturunan
Erat kaitannya dengan khilafah manusia di bumi, melanjutkan keturunan merupakan suatu keharusan. Bagaimana mungkin manusia dapat meramaikan dunia tanpa ada yang melanjutkan generasi? toh manusia semuanya tidak ada yang berumur panjang, semuanya akan rapuh dan musnah termakan usia. Wajar al-Qur`an menyinggung dengan bahasa yang indah “perhiasan kehidupan dunia,” Allah swt. berfirman:
اَلمَالُ وَالْبَنُوْنُ زِيْنَةُ الْحَيَاةِ الدُّنيَا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia” (QS. Al-Kahfi: 46)
   
Mendapatkan perhiasan kehidupan dunia ini haruslah melalui jalan yang dibenarkan agama, yaitu harus melalui pernikahan yang sah, tiada lain untuk mendapatkan keturunan dan anak yang sah. Bahkan memperbanyak keturunan merupakan harapan Rasulullah saw. dalam satu riwayat hadits beliau bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ اْلوَلُودَ فَإِنّىِ مُكَاثِرٌ بِكُمْ الأُمَام يَومَ الْقِيَامَةِ
“Kawinlah dengan perempuan yang pecinta lagi bisa beranak banyak, agar aku nanti dapat membanggakan jumlahmu yang banyak di hadapan umat-umat yang lain pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, al-Nasai dan al-Tirmidzi)

Dengan cara yang sah, diharapkan akan terbina keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, dan akhirnya menjadi deposito amal jangka panjang bagi kedua orang tua, karena akan muncul generasi shalih dan shalihah yang mendo’akan orang tuanya. Nabi saw. bersabda:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ، صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila mati anak Adam, maka terputuslah (pahala) amalnya kecuali tiga perkara, yaitu; Amal jariyyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang mendo’akannya.” (HR. Muslim)

Cara halal memenuhi kebutuhan biologis (hubungan Seksual)
Allah swt. menganugerahkan kelezatan dalam bersebadan dengan pasangannya adalah salah satu perekat hubungan suami istri, sehingga hubungan ini menjadi semacam kebutuhan biologis yang harus dipenuhi. Allah swt. melukiskan hubungan ini dalam al-Qur`an:
اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ، هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَاَنتمُ لِبَاسٌ لَهُنَّ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah: 187).

Bagi manusia, mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Ketersendirian -dan lebih hebat lagi keterasingan- sungguh dapat menghantui manusia karena manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, makhluk yang membawa sifat dasar ketergantungan.

Mengatur urusan keluarga
Nikah menjadi washilah menyatukan keistimewaan yang dimiliki dalam tiap-tiap diri manusia, dan dengan menyatu menjadi sebuah keluarga, sepasang suami istri dapat mengatur urusan keluarganya dengan lebih fokus dan terprogram, kerjasama ini digambarkan al-Qur`an dalam firman Allah swt:
هُوَالَّذِى خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنُ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلاً خَفِيْفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا اَثقَلَتْ دَعَوَا اللهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ ءَاتَيتَنَا صَالِحًا ِلنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِيْنَ
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: “Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur” (QS. al-A’rof: 189)

Memperbanyak keluarga
Pernikahan bukan semata-mata menyatukan dua insan yang saling mencintai, tapi juga dua keluarga dengan dua latar belakang yang berbeda, menjadi satu ikatan erat silaturrahim dan dengan pernikahan menabah pula daftar panjang amal kebaikan karena semakin banyaknya anggota dalam keluarga. Tinggal nanti pasangan suami istri mempertahankan kelanggengan hubungannya agar ikatan silaturrahim itu terus menerus kukuh dan memberikan warna tersendiri di balik kebersamaan dan kebahagiaan, Rasulullah saw. bersbda:
مَنْ اَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَينُسَأَ لَهُ فِى أَثرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ ( رواه البخارى و مسلم و ابو داود و النسائى)
Barang siapa yang ingin dilapangkan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung hubungan kekeluargaannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa`i)

Melatih tanggung jawab diri.
Perempuan diciptakan Allah swt. memiliki kecendrungan masochisme (mencintai diri sendiri) yang berdampingan dengan kecendrungan untuk berkorban demi kelanjutan keturunan. Demikian penjelasan sementara psikolog. Kecintaan kepada dirinya yang disertai dengan pengorbanan itu, menjadikan perempuan kuasa mengatasi kesulitan dan sakit yang memang telah menjadi kodrat wanita untuk dia  pikul khususnya ketika haid, mengandung dan melahirkan, serta menyusukan dan membesarkan anak. Karena rasa sakit itu pula Allah swt. swt. menganugerahinya kenikmatan bukan saja dalam hubungan sex -seperti halnya pria- tetapi juga dalam memelihara anak-anaknya. Ini berbeda dengan pria. Tanpa kenikmatan itu, maka anak akan terlantar, karena ayah ditugaskan untuk keluar mencari nafkah buat istri dan anak-anaknya.
 
Perbedaan tanggung jawab dalam diri masing masing pasangan, harus disadari dan dipahami sebagai “kesaling tergantungan”, suami tidak akan bisa memfokuskan diri dalam mencari nafkah bila dia juga disibukkan dengan mengasuh bayi di rumah, demikian pula sang istri akan merasa berat dalam mengasuh anak, jika harus bergelut dengan urusan dunia. Dengan ikatan pernikahan, masing-masing pasangan dilatih untuk lebih konsisten dengan tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya, agar tercapai keseimbangan dalam berkeluarga, dan akhirnya terbentuklah keluarga yang Sakinah mawaddah wa rohmah. Sekian, Wallahu A’lam