LARANGAN-LARANGAN DALAM BERSENGGAMA.

Tanya:
Gus.. saya pernah menyimak satu ayat tentang pengibaratan Allah swt. untuk hubungan suami istri, yaitu dengan perumpamaan ladang. Adakah batasan-batasan yang harus diperhatikan, sehingga tidak dengan bebas memaknai makna ladang tersebut, mohon penjelasannya, terima kasih.
Dari bapak Salim, Sukorejo.
Jawab:
Begini pak Salim, kebebasan untuk menggauli istri memiliki dasar yang kuat dari al-Qur’an, tapi bukan berarti kebebasan tanpa batas, karena pada saat-saat dan cara tertentu hubungan ini tidak boleh dilakukan, larangan tersebut adalah:

Berhubungan saat Haid atau Nifas.
Ada beragam alasan kenapa Islam mengahramkan penganutnya bersenggama pada saat haidl atau nifas, larangan dari ayat-ayat al-Qur’an atau dari sisi kesehatan. Allah swt menyatakan dalam al-Qur’an:
وَيسْأَلُوْنكَ عَنِ اْلمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذَى فَاعْتزِلُوا النِّسَاءَ فِي اْلمَحِيْضِ وَلاَ تَقْرَبوُهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ الأية
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haidl. Katakanlah, ‘Haidl itu adalah kotoran’. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari istri-istrimu di waktu haidl; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.” (QS. Al-Baqarah:  222).

Larangan ini sangatlah beralasan, karena dari sisi kesehatan darah yang dikeluarkan saat haidl merupakan tempat berkembang biaknya bakteri.

Menyetubuhi dubur istri.
Dubur adalah tempat yang kotor dan membahayakan, menyetubuhi dubur akan sama halnya dengan homoseksual, Nabi saw. bersabda:
مَلْعُونٌ مَنْ اَتىَ امْرَأَتَهُ فِى دُبرِهِ (رواه احمد)
“Terkutuklah laki-laki yang mendatangi istrinya dari duburnya.” (HR. Ahmad)

Berhubungan saat Ihram.
Pada saat seseorang melakukan Ihram pada Miqat Makani (batasan tempat untuk niat haji atau umrah yang sudah ditentukan) maka mulai saat itu dia tidak boleh melakukan senggama, ini sudah ditetapkan Allah swt. dalam al-Qur’an:
فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ اْلحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِى اْلحَجِّ
“Maka barangsiapa menetapkan hatinya (melaksanakan)  dalam bulan itu (bulan haji), maka tidak boleh Rafats (mengeluarkan perkataan yang membangkitkan birahi atau bersenggama), barbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah: 197)

Berhubungan saat I’tikaf
I’tikaf adalah berdiam di masjid untuk beberapa saat, seseorang yang sedang melakukan I’tikaf tidak boleh melakukan hubungan seksual, hal ini seseuai firman Allah swt:
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَاَنْتمْ عَاكِفُونَ
“Janganlah kamu mencampuri mereka (istri-istrimu) ketika kamu beri’tikaf di dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187)
ayat ini turun untuk memberi peringatan kepada orang yang beri’tikaf,  pada saat itu mereka keluar dari masjid hanya untuk melakukan senggama dengan istrinya kemudian kembali lagi, padahal mereka sedang beri’tikaf.

Berhubungan pada siang hari bulan Ramadhan.
Berhubungan pada siang hari bulan dapat membatalkan puasa dan diwajibkan membayar kafarat (denda) bagi mereka yang melakukannya. Diriwayatkan dalam satu hadits:
عَنْ اَبِى هُرَيرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ: جَاءَ رَجُلٌ اِلَى النَّبِى صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اللهِ  قَالَ: وَمَا اَهْلَكَكَ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى فِى رَمَضَانَ قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً ؟ قَالَ: لاَ, قَالَ: هَلْ تَسْتطِيْعُ  اَنْ تَصُومَ شَهْرَينِ مُتتاَبِعَيْنِ؟ قَالَ: لاَ, قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِيْناً ؟ قَالَ: لاَ, ثُمَّ جَلَسَ فَاتَى النَّبِى صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمَرٌ قَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا. قَالَ: فَهَلْ عَلى اَفْقَرَ مِنَّا؟ فَوَاللهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا اَهْلَ بَيْتٍ اَحْوَجُ اِلَيْهِ مِنَّا. فَضَحِكَ النَّبِىّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  حَتىَّ بَدَتْ نَوَاجِدُهُ وَ قَالَ: اِذْهَبْ فَاَطْعِمْهُ اَهْلَكَ
“Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: ‘Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. lalu berkata: ‘Celaka saya wahai Rasulullah.’ Rasulullah bertanya: ‘ Apa yang membuatmu celaka?’ laki-laki itu menjawab: ‘Saya telah bersenggama dengan istri saya di siang hari bulan Ramadhan.’ Rasulullah bertanya: ‘Dapatkah kamu memerdekakan budak?’ laki-laki itu menjawab: ‘Tidak.’ Rasulullah bertanya: ‘Kuatkah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ laki-laki itu menjawab: ‘Tidak.’ Rasulullah bertanya lagi: ‘Sanggupkah kamu memberi makan 60 orang miskin?’ Laki-laki itupun menjawab: ‘Tidak.’ Kemudian ia duduk dan Rasulullah memberinya sekeranjang kurma seraya berkata: ‘Bersedekahlah kamu dengan kurma ini!’ Laki-laki itu berkata: ‘Apakah saya harus menyedekahkan kepada orang yang paling miskin di antara kami? Demi Allah, tidak ada keluarga di antara dua batu hitam di Madinah yang paling membutuhkannya selain keluarga kami.’ Lalu Nabi saw. tertawa sehingga gigi geraham beliau kelihatan. Kemudian beliau berkata: ‘Pergilah dan beri makanlah keluargamu dengannya’.