SENGGAMA



Kalau kita merujuk kepada pengertian sederhana nikah, tampak di situ gambaran sekilas tujuan nikah yaitu menghalalkan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang bukan satu mahram, suatu hubungan yang masuk pada kategori dosa besar bila dilakukan tanpa melalui pernikahan. Sudut pandang untuk melihat hubungan seksual sebagai cara meredam hawa nafsu syahwat tidak bisa hanya dari satu arah, beragam cara dan motif memahami hubungan seks sebagai salah satu cara Allah swt. memuliakan makhluk-Nya, yaitu manusia.

Pada dasarnya hubungan seksual setelah nikah (untuk seterusnya dikatakan Jimak) adalah hubungan yang Mubah/boleh, ini merujuk kepada hukum asal nikah bahwa dengannya seseorang diperbolehkan melakukan hubungan seksual, bahkan aktifitas jimak akan menjadi nilai ibadah yang tidaklah sedikit pahalanya dan dikatakan pula ibadah yang paling nikmat bahkan salah satu kenikmatan yang akan terus terbawa sampai surga. Tinggal sejauh mana niat sepasang suami istri dalam berhubungan dan sedalam apa mereka memahami ada dan bagaimananya hubungan yang suci ini. Perintah mengumpuli istri bagi seorang suami dan melayani suami bagi seorang istri ini tertuang dalam firman Allah swt. dan hadits Nabi saw:
نِسَآءُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتوا حَرْثَكُمْ اَنىَّ شِئتم
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS. al-Baqarah: 223)
اِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ اِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتهاَ اْلمَلاَئِكَةَ حَتىَّ تُصْبِحَ  ( رواه البخار و مسلم)
 “ Jika seorang suami mengajak istrinya untuk tidur di tempat peraduanya kemudian dia menolak (untuk datang) hingga suami marah terhadapnya semalam suntuk, maka malaikat akan melaknatinya hingga pagi.” (HR. Bukhori Muslim).

Ada beragam pendapat Ulama tentang hukum menggauli istri ini, di antaranya pendapat Imam Ahmad yang menyatakan sekurang-kurangnya bagi sang suami menggauli istrinya sekali selama empat bulan, dan seandainya suami pergi lebih dari empat bulan tanpa menggaulinya maka menurut beliau hakim boleh menceraikannya terkecuali istri rela akan hal tersebut. Berbeda dengan pendapat imam Syafi’i yang menyatakan menggauli istri hukumnya bukan wajib dan hanya sebatas hak suami terhadap istrinya.

Kesediaan seorang wanita untuk hidup bersama seorang lelaki dan meninggalkan orang tua dan keluarga yang membesarkannya -mengganti semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama seorang lelaki yang menjadi suaminya, yang besar kemungkinan belum dikenalnya secara utuh, serta kesediaannya membuka rahasianya yang paling dalam- semua itu mustahil kecuali jika ia merasa yakin bahwa kebahagiaannya bersama suami akan lebih besar dibanding dengan kebahagiaannya bersama ibu bapak dan keluarganya, dan pembelaan suami terhadap dirinya tidak lebih sedikit dari pembelaan saudara-saudara kandungnya.

Itulah satu sisi dari sekian banyak ayat (tanda) kehadiran dan kuasa Allah swt. yang perlu diingat dan direnungkan oleh pasangan suami istri sebagaimana pesan-Nya:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعلَّكَمُ تَذَكّرُوْنَ
"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat." (QS. Adz-Dzariyat: 49)

Dalam pernikahan hiduplah dua orang yang memiliki sisi kehidupan yang berbeda, tentunya tidak cukup hanya bermodal kesediaan tanpa menghiraukan fator-faktor yang menjadikan hubungan tersebut menjadi lebih indah dan langgeng, di antara faktor itu adalah kepuasan dalam berjimak, banyak sekali manfaat jimak bagi sepasang suami istri di antaranya adalah:

1.    Sebagai jalan pemenuhan kebutuhan seksual yang bernilai ibadah.
Hubungan seks dipandang oleh Islam adalah hubungan yang suci dan Islam pun menjaga kesucian itu dengan pernikahan. Dorongan untuk bisa menyalurkannya adalah dorongan yang ada dalam diri tiap-tiap manusia sebagai fitrahnya, dan akan menjadi dosa besar apabila melampiaskannya dengan cara yang tidak halal (Zina), dan berbalik akan menjadi bentuk pengabdian kepada Allah di saat menyalurkannya dengan jalan yang sah melalui pernikahan, tinggal melihat bagaimana niat dalam melakukannya untuk mengukur kualitas nilai ibadah yang dapat diraih, al-Ghazali dalam Ichya` Ulumiddin menuliskan:
فَمَنْ قَصْدُهُ مِنَ اْلاَكْلِ التَّقَوِّي عَلى اْلعِبَادَةِ, وَمِنَ اْلوِقاَعِ تَحْصِيْنُ دِيْنِهِ وَتطْيِيْبُ قَلْبِ اَهْلِهِ وَالتَّوَصُّلُ بِهِ اِلَى وَلَدٍ صَالِحٍ يَعْبُدُ اللهَ تَعَالىَ بَعْدَهُ فَتكْثرُ بِهِ اُمَّةُ مُحَمَّدٍ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ مُطِيْعًا بِاَكْلِهِ وَنِكَاحِهِ
“Seseorang yang dalam dia makan bertujuan agar bisa mendapatkan kekuatan untuk beribadah dan seseorang yang dalam Wiqa`/jimaknya  untuk menjaga agama dan menumbuhkan kebaikan hati keluarganya serta dengan jimak pula dia berharap memperoleh anak shaleh yang beribadah kepada Allah Ta`ala dan menjadikan banyaknya umat nabi Muhammad saw. maka orang tersebut terhitung orang yang Ta`at dari makan dan nikah (jimak) nya itu”

Jimak dalam ikatan pernikahan akan mendatangkan rasa nikmat dan ketenangan tersendiri, berbeda dengan melakukannya dengan cara yang tidak halal banyak sekali resiko yang harus ditanggung mulai dari ancaman berbagai penyakit, kegoncangan jiwa sampai pada perasaan berdosa yang terus menghantui. Pada akhirnya hubungan seks yang dilakukan dengan cara yang halal akan memberikan dampak yang positif baik fisik atau mental pelakunya

2.    Memperkokoh cinta dan kasih sayang.
Dalam berjimak harus ada saling memberi dan menerima artinya suami tidak egois hanya memikirkan kepuasannya sendiri tanpa mau memperhatikan hajat istrinya, atau sebaliknya istri hanya menuntut tanpa melihat kemampuan sang suami. Dalam berjimak harus pula memperhatikan faktor fisik da psikisnya karena dalam kepuasan bermain cinta sampai keduanya mencapai pada titik Orgasme (klimaks/puncak) secara fisik dari kedua belah pihak akan mengadakan penyerapan-penyerapan zat-zat yang dikeluarkan oleh partner seksnya, penyerapan ini berpengaruh kuat terhadap pembentukan watak dan tabiat sehingga nantinya kedua pasangan akan mudah untuk saling mengerti dan akhirnya berbuah kebahagiaan dan ketentraman di antara mereka.

3.    Memperoleh keturunan.
Diantara hikmah yang ada di balik syari’at nikah adalah memperoleh keturunan yang sah, dengan ini manusia akan mempertahankan eksistensinya sebagai pemegang khalifah Allah di Bumi, dan jimak adalah sebagai jalan untuk mencapai hikmah tersebut. Ini sesuai dengan titah Allah swt. dalam al-Qur’an:
وَاللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ اَنْفُسِكُمْ  اَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ  اَزْوَاجِكُمُ بَنِيْنَ  وَحَفَدَةً
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu.” ( Q.S. an-Nahl: 72 )