ANTARA`WETHON JAWA DAN BAHAGIA


Tanya:
Assalamu`alaikum, Gus Yusuf yang saya hormati, perkenankan saya menuturkan masalah yang saya hadapi sekarang ini. Saya gadis 22 tahun. Begini Gus, saya mau menikah bulan-bulan yang akan datang tapi belum ditentukan kapan tanggal atau waktu yang pas untuk melaksanakannya, kedua belah keluarga memang sudah saling mempersiapkan diri menyambut hari H itu, tapi ada beberapa kejanggalan yang saya temukan dan saya pikir masalah itu bukan masalah yang prinsip banget dalam pernikahan tentang hitungan wethon, masa hanya karena hitungan-hitungan hari kedua belah pihak saling tarik ulur masalah penentuan “hari baik,” katanya. Dan dengan alasan bisa membawa dampak yang negatif pada rizqi dan ikatan pernikahan kami, lha terus gimana Gus? Saya ingin penjelasan Gus Yusuf tentang hari wethon itu dipandang dari sudut agama, dan apakah pernikahannya sah bila yang menjadi wali atau saksi orang yang meyakini hitungan wethon itu? Demikian dari saya, Wassalam. Dari Mualifah di Magelang.

Jawab:
Wa’alaikum salam wa rahmatullah, saya kira, permasalahan yang adik hadapi harus dilihat dari berbagai sudut pandang, ya… dari sisi Syari’at, budaya, dan juga sisi sosial. Baik kita bicarakan saja satu persatu, pertama tentang sikap yang harus adik lakukan disaat menemukan beragam kejanggalan-kejanggalan yang adik temukan,  Untuk menghadapi masalah ini, adik tentunya harus bersikap dewasa dan tenang jangan grusah-grusuh hanya akan membawa permasalahan baru yang mungkin tidak kalah rumitnya, kemudian jangan sampai terlalu memojokkan pada pihak laki-laki atau bahkan menyalahkannya. Toh! tidak ada untungnya menyerang mereka secara spontan dengan dalil-dalil yang ada, karena mungkin mereka meyakini kebenaran hari-hari wethon tersebut. Kalaupun ada keinginan untuk meluruskan semuanya tetap saja perlu waktu, tenaga dan kesabaran, karena yang dihadapi bersifat keyakinan dalam hati.

Selanjutnya tentang pandangan agama tentang hitungan itu, sejauh ini saya tidak menemukan hitung-hitungan nama hari semacam Kamis legi atau Jumat legi dalam Islam, yang saya tahu, ya.. itu hari Senin, Selasa, Rabu dan seterusnya, jadi saya kira itu hanya merupakan warisan adat atau kebudayaan orang terdahulu, dan kadang dalam satu persoalan “kebetulan” saja ada yang benar. Yang mesti adik jangan memiliki keyakinan bahwa kebahagiaan atau bangkrutnya seseorang karena melakukan aqad nikah bertepatan dengan 10 Suro pada malam Jumat Kliwon umpamanya, ini yang dilarang, tiada lain karena mengesampingkan Allah swt. sebagai Maha Pengatur alam raya ini.

Kepercayaan pada hari kelahiran atau hitungan-hitungan jawa, itu hanya bagian dari aspek budaya atau tradisi para pendahulu berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang mereka catat dan diwariskan pada generasi berikutnya, sedangkan agama Islam tidak menentang tradisi yang sudah berjalan, bahkan menghormatinya sepanjang tradisi tersebut tidak menyalahi prinsip-prinsip Syari`at. Sebaliknya kalau memang sudah menyalahi prinsip agama apalagi menyangkut akidah seperti keyakinan sepenuhnya atas dampak hitungan hari, tentu kita harus berhati-hati kita umat Islam dan diharuskan untuk meluruskannya.

Tentang sah dan tidaknya nikah yang berhubungan dengan perwalian atau saksi, semua tergantung pada syarat dan rukunnya. Jadi, kalau sudah menepati syarat dan rukunnya tentunya nikahnya sah toh, `ndak usah  berpikir yang macam-macam. Memang benar salah satu rukunnya harus ada wali serta dua saksi, dan dari wali atau saksi tersebut disyaratkan tidak fasik pada saat akad dan harus satu agama, mungkin dari sini awal mula kecemasan adik, saya harap adik senantiasa berpositif thinking dan husnudzon kalau keyakinan mereka terhadap hitungan itu tidak melebihi keyaqinan mereka kepada Allah swt.

Saya kira cukup sampai di sini saja penjelasan singkat ini, saya harap jawaban ini minimal dapat menjadi solusi atas masalah  yang adik hadapi, demikian, Wallahu A`lam