MELIHAT LAWAN JENIS


Tanya:
Gus Yusuf.. kayaknya untuk saat ini sulit sekali lepas dari maksiat mata, mungkin sudah dianggap biasa. Kalau menurut pandangan Fiqh gimana Gus.. saya minta penjelasan, terima kasih.
Dari Sofyan, Wonosobo.

Jawab:
Mas Sofyan.. melihat lawan jenis itu telah diatur oleh agama dan ada perincian yang harus diketahui sebagai -minimal- pagar pembatas dari jurang kemaksiatan, adapun perinciannya sebagai berikut:

Haram bagi laki-laki walaupun sudah tua dan pikun, sengaja melihat sesuatu dari tubuh wanita lain (bukan mahrom) yang sudah mencapai Haddusysyahwat (batas mendatangkan gairah) dengan tanpa ada hajat meskipun sekedar wajah dan kedua telapak tangan. Bahkan menurut pendapat yang mu'tamad (pendapat yang dijadikan pegangan) walaupun tidak disertai syahwat dan aman dari fitnah. Hukum keharaman ini bersumber dari Firman Allah swt. dalam al-Qur`an:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا أَبصَارَهُمْ وَيحْفَظُوا فُرُوْجَهُمْ . ذَالِكَ أَزْكُى لَهُمْ. إِنَّ للهَ خَبِيْرٌ بِمَا يَصْنَعُوْنَ. وَقُلْ لِلْمُؤمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ .
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandanganya dan menelihara kemaluanya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah swt. melihat apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya." (QS. An-Nuur: 30-31)

Boleh:
Melihatnya suami kepada sang istri, bahkan hal ini terkadang termasuk ibadah. secara mutlak pada keseluruhan badan, yakni
Melihatnya laki-laki kepada mahromnya dengan tidak disertai syahwat, tapi hanya terbatas pada selain anggota tubuh yang berada diantara lutut sampai pusar.
Melihatnya laki-laki pada wanita lain di saat ada hajat seperti Khitbah (meminang), akan tetapi hanya sebatas pada kedua telapak tangan (bagian dalam dan luar) atau dalam keadaan mu'amalah (berbisnis) dan tertentu pada wajah saja.
Melihatnya laki-laki pada wanita lain di saat mengobati sebatas pada anggota yang perlu diobati, itupun harus ada mahrom atau suami yang menemani. Disyaratkan pula pada daerah tersebut tidak ada wanita yang bisa mengobati atau ada namun sudah tidak memiliki kemampuan lagi.
Melihat untuk persaksian, maka boleh melihat pada anggota tubuh yang dibutuhkan untuk persaksian tersebut.

 Batasan-batasan ini sekilas memang memberikan ruang yang sempit pada hubungan antara lelaki dan perempuan, bagi yang menyadari lebih jauh akan bahaya yang ditimbulkan jika berhubungan tanpa mengenal batas. Justru dengan batasan-batasan inilah bentuk perhatian Islam untuk menjaga ketinggian martabat penganutnya di hadapan Allah.

Akhiron, memaknai ajaran Islam dengan totalitas ajarannya membawa kepada kehidupan yang bercorak pasrah terhadap segala aturan-aturan yang Allah swt. bebankan kepada makhluk-Nya, karena aturan tersebut bukan semata-mata beban kosong tanpa inti dan sari pati, justru dengan aturan ini Dia hendak menempatkan pada derajat yang paling tinggi. Aturan yang ada tidak boleh dipandang sebelah mata sebagai pembatas ruang pergaulan, tapi harus dimaknai  sebagai management diri pribadi manusia yang tidak pernah lepas dari hawa nafsu. Wallahu A’lam