HARUSKAH SAYA NIKAH.
Tanya:
Gus Yusuf.. saya itu ingin sekali nikah, tapi uang tidak ada. Padahal saya khawatir tidak bisa membawa diri saya, karena pergaulan sekarang yang semakin tidak karuan, saya takut terjerumus ke jurang perzinaan. Apakah saya harus memaksa nikah atau bagaimana?
Dari NR, Bantul.

Jawab:
    Saya kira wajar-wajar saja kalau ingin menikah, karena memang fitrah manusia untuk hidup berdampingan dengan lawan jenis. Yang mesti mas NR harus tahu lebih dahulu bahwa nikah itu ada beragam macam hukumnya, karena perberbadaan latar belakang sesorang baik dalam materi, fisik atau psikisnya. Dari perbedaan tersebut muncullah hukum yang berbeda pula, demikian perinciannya:
BAGI LAKI-LAKI
1.    Sunnah, bagi laki-laki yang sudah mempunyai hasrat, dan mampu menanggung biaya pernikahan, seperti halnya mas kawin dan nafkah.
2.    Khilaf al-Aula (tidak sesuai dengan keutamaan), bagi yang mempunyai hasrat nikah, tetapi tidak mempunyai biaya.
3.    Makruh, bagi orang yang tidak mempunyai hasrat, dan tidak mempunyai biaya, atau mempunyai  biaya namun dirinya sudah pikun, atau sakit seperti impotent.
4.    Wajib, bagi orang yang mempunyai biaya serta khawatir akan melakukan zina. Atau orang yang mempunyai hasrat, serta mampu menanggung biaya pernikahan dan mempunyai nadzar akan melakukan nikah.
5.    Haram, bagi orang yang tigak bisa melaksanakan kewajiban sebagai suami.

BAGI WANITA
Sunnah, bagi wanita yang mempunyai hasrat, atau butuh lelaki yang bisa mengayomi          dirinya,
Makruh, bagi wanita yang tidak mempunyai hasrat.
Haram, bagi wanita yang tidak mampu melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri.
Wajib, bagi wanita yang terancam kehormatannya dan hanya bisa ditolak dengan nikah.

Sekarang, dari perincian ini tampaknya mas NR masuk dalam kategori Khilaful Aula, jadi bukan wajib atau sunah. Saya kira cukup keterangan dari saya semoga bermanfaat, sekian, Wallahu A’lam.[]


BAB II
MENUJU PELAMINAN

P
ernikahan bukanlah hanya untuk kemaslahatan dunia, memperhatikan kebahagian akhirat juga merupakan sebuah keharusan. Agar cita-cita luhur ini menjadi sebuah kenyataan keduanya harus selaras dan seimbang. Hubungan suami akan menjadi surga dunia dan akhirat bila tercipta satu hubungan yang sinergis, yaitu hubungan yang mencerminkan keseimbangan membagi kewajiban dan menuai haknya masing-masing antara suami, istri, anak dan lingkungannya serta pemenuhan kebutuhan yang lebih penting yaitu nutrisi spiritual dalam beribadah kepada Penciptanya Yang Maha Agung.

Hikmah dan tujuan nikah akan mudah tercapai manakala keduabelah pihak saling memahami bagaimana seharusnya mereka menjalankan fungsinya sebagai suami/istri tanpa mengesampingkan nilai-nilai religi, sebaliknya hal ini akan menjadi beban yang tidaklah dikatakan ringan apabila tidak ada keserasian dalam berkeluarga apalagi sampai pada ranah Aqidah. Pantas kemudian Rasulullah saw. menganjurkan untuk memilih calon pasangan hidup, tiada lain karena rumitnya persoalan yang akan dihadapi dalam dua kehidupan (dunia dan akhirat) bagi mereka yang tidak mengindahkan rambu-rambu agama.

Memilih bukan berarti memraktekkan kesewenag-wenangan, tapi semata-mata merupakan kehati-hatian dalam memilih pasangan yang akan dibawa berlayar menuju dermaga, bernama kebahagiaan. Jadi bukan sekedar fisik yang menjadi patokan atau harta kekayaan yang melimpah, tapi justru kekayaan budi pekerti dan ketinggian derajat ibadahnya kepada Allah swt.  hal ini pernah disinggung oleh Rasulullah saw. dalam satu hadits:
عَنْ اَبِى هُرَيرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ؛ تُنكَحُ اْلمَرَأَةُ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ ( رواه البخارى و مسلم و ابو داود و النسائى وابن ماجه)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Perempuan dinikahi adalah -pada umumnya- karena empat hal: Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka dapatkanlah perempuan yang beragama (Islam), niscaya kedua tanganmu kaya (dirimu selamat).” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa`I dan  Ibnu Majah)

Dalam redaksi awal, beliau memang menekankan pada harta lalu asal muasal keturunan dan wajah, artinya keadaan fisik memang mendukung untuk mencapai kebahagiaan, tapi dalam redaksi terakhirnya nabi memberikan prioritas yang lebih kepada kekayaan spiritual (kualitas agama), ini memberikan pengertian bahwa agama tetap menduduki peringkat yang pertama dalam pertimbangan sesorang memilih pasangan.

Kenapa harus agama? Pertanyaan yang mungkin saja muncul dalam benak sebagian dari kita, kekayaan atau keunggulan meteri/fisik tanpa ada kontrol religi (agama) hanya akan menyeret pada jurang kenistaan, dengan kekayaan bisa saja seseorang akan membeli apa saja yang dia mau tanpa menghiraukan batas-batas hukum syari`at, dengan keturunan mungkin juga membanggakan leluhurnya tanpa mengikuti jejak-jejak yang menjadikan ketinggian derajat para pendahulunya, atau dengan ketampanan/kecantikan yang dimiliki bukan hal yang mustahil hanya sebagai cara menggoda dan mengumbar nafsu syahwatnya. Tapi dengan agama justru ketiga faktor materi tadi akan diatur sedemikian rupa hingga akhirnya menjadi benih-benih pengabdian kepada Allah swt. maka pantas Rasulullah saw. menempatkan agama pada kedudukan yang paling tinggi, bahkan bila harus memilih di antara keempat faktor ini, beliau menganjurkan untuk memilih kualitas agamanya.

Banyak sekali hadits Nabi saw. yang memberitahu kita, bagaimana Allah swt. akan merendahkan derajat seseorang yang menjadikan faktor materi sebagai alasan untuk dijadikan sebagai pasangan hidup, di antaranya satu riwayat imam al-Thabrani:
مَنْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً لِعِزِّهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إلاَّ ذلاًّ، وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لِمَالِهَا لَمْ يَزِدْهُ اللهُ إلاَّ فَقْرًا، وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لِحَسَبِهَا لَمْ يَزِدهُ اللهُ إلاَّ دَنآءَةً، وَمَنْ تَزَوَّجَهَا  لَمْ يُرِدْ بِهَا إِلاَّ اَنْ يَغُضَّ بَصَرَهُ ويُحْصِنَ فَرْجَهُ أَوْ يَصِلَ رَحِمَهُ بَارَكَ اللهُ لَهُ فِيْهَا وَبَارَكَ لَهَا فِيْه  ( رواه الطبرانى )
“Barangsiapa yang mengawini orang perempuan karena derajat (dunia) nya maka Allah akan menambahkan kehinaan kepadanya (suami). Barangsiapa yang mengawini orang perempuan karena hartanya, maka Allah akan menambah kemiskinan padanya. Barangsiapa yang mengawini orang perempuan karena asal muasal keturunannya, maka Allah akan menambahkan kerendahan padanya. Dan barangsiapa yang mengawini orang perempuan dengan maksud untuk memejamkan (menjaga)  pandangan mata, menjaga kemaluan atau menyambung tali silaturrohim, maka Allah akan memberkahi dia pada istrinya dan memberkahi istri padanya.” (HR. al-Thabrani)

Dalam hadits-hadits yang lain, Nabi memberikan gambaran bagaimana memilih calon pasangan, seperti ungkapan beliau kepada shahabat Jabir ra.
لمَاَّ تَزَوَّجَ جَابِرُ بن عَبْدِ الله ثيِّبًا، قَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلاَّ بِكْرًا تُلاَعِبُهَا وتُلاَعِبُكَ   
“Pada saat Jabir bin Abdullah akan kawin dengan seorang janda, Rasulullah saw. bersabda kepadanya: ‘Alangkah baiknya seorang gadis saja, Engkau dapat bermain-main dengannya dan iapun dapat bermain-main denganmu.”

Memang dalam kisah yang sesungguhnya Jabir ra. memilih janda sebagai istrinya dengan alasan pada saat dia ditinggalkan sang istri, dia masih memiliki tanggungan anak-anak yang masih kecil, maka dibutuhkan pendamping yang berpenglaman dalam mengasuh anak. Namun dari ungkapan Nabi ini minimal dapat diambil kesimpulan bahwa beliau menganjurkan memilih pasangan yang masih gadis, karena gadis tentunya lebih segar sehingga akan lebih bisa mempertahankan keutuhan keluarga.

Dalam hadits lain beliaupun menuturkan tentang kriteria-kriteria yang lain, seperti anjuran beliau untuk mencari pasangan yang memiliki kasih sayang dan bisa memberikan keturunan, Nabi saw bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ اْلوَلُودَ فَإِنّىِ مُكَاثِرٌ بِكُمْ الأُمَام يَومَ الْقِيَامَةِ
“Kawinlah dengan perempuan yang pecinta lagi bisa beranak banyak, agar aku nanti dapat membanggakan jumlahmu yang banyak di hadapan umat-umat yang lain pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, al-Nasai dan al-Tirmidzi)

dalam hadits yang lain Beliau bersabda:
خَيْرُ نِسَاءِ أُمَّتِى أَصْبَحُهُنَّ وَجْهًا وَاَقَلُّهَا مَهْرًا  ( رواه ابن عدى )
"Sebaik baik wanita dari umatku ialah yang berwajah ceria dan sedikit maharnya.” (HR. Ibnu `Adiy)

Demikian Rasulullah saw. memberikan bimbingan kepada umatnya, patut dicamkan pula satu tuntunan beliau dalam sabdanya yang lain:

إِيَّاكُمْ وَخَضْرآءَ الدِّمَنِ، مَنْ هِيَ يَا رَسُوْلُ اللهِ، قَالَ اْلمَرْأَةُ اْلحَسْنَآءُ فِى اْلمَنبَتِ السُّوْءِ (رواه الدارقطنى) 
“Waspadalah kalian terhadap ‘Khadhra` ad-Diman! Para shahabat bertanya: “Siapakah dia, wahai Rasulullah?” beliau bersabda: “Yaitu perempuan cantik di tenganh keluarga buruk.” (HR. ad-Daruquthni)

Ajaran yang beliau tanamkan, jelaslah semuanya berbalik kepada kemashlahatan umatnya. Sebisa mungkin apa yang telah ia ajarkan, menjadi rambu yang memberi petunjuk untuk melangkah, entah berupa perintah, peringatan atau bahkan larangan. Pada akhirnya pernikahan (dengan pasangan yang sesuai anjuran nabi) akan menjadi amalan yang bernilai ibadah setelah Taqwa, Beliau bersabda:
مَا اسْتفَادَ اْلمُؤْمِنَ بَعْدَ تَقْوَى اللهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ إِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتهُ وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَاسَرَّتهُ وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبرَّتهُ وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتهُ فِى نَفْسِهَا وَمَالِهِ (رواه ابن ماجه)
 “Setelah taqwa kepada Allah, seorang mukmin tidak bisa mengambil manfaat yang lebih baik, dibanding istri yang salehah dan cantik, yang jika suaminya memandangnya, dia menyenangkan, jika suaminya menyumpahinya, dia selalu memperbaiki dirinya, dan apabila suaminya meninggalkannya (bepergian), dia pun selalu menjaga diri dan harta suaminya.” (HR. Ibnu Majah)

Wal hasil, dengan memilih calon pendamping yang sesuai anjuran Rasulullah saw, pernikahan akan menjadi sumber kebahagiaan, di sana seseorang akan menemukan tempat  kembali disaat tidak ada tempat yang layak untuk berteduh, keluarga akan menjadi obat yang paling mujarab dan sebagai hiburan paling mahal saat kesibukan atau kepenatan menyelimuti,  dan akhirnya dengan pernikahan ini akan membawa keberuntungan berlipat ganda, mulai dari keuntungan dunia sampai nanti kebahagaan abadi di Akhirat kelak, Nabi saw. bersabda:
أَرْبَعٌ مِنْ سَعَادَةِ اْلمَرْءِ أَنْ تَكُونَ زَوْجَتُهُ صَالِحَةً وَأَوْلَدُهُ أَبرَارًا وَخُلَطَاؤُهُ صَالِحِيْنَ وَأَنْ يَكُوْنَ رِزْقُهُ فِى بَلَدِهِ (رواه الديلمى وابن عساكر)
“Ada empat kebahagiaan bagi seseorang yaitu: Istrinya adalah wanita shalihah, putra putrinya berprilaku baik, pergaulannya dengan orang-orang yang shalih, dan rizqinya dari negeri sendiri.” (HR. ad-Dailami dan ibnu `Asakir)

Dari sekian hadits-hadits nabi tadi, secara umum kriteria calon ini oleh para `Ulama di simpulakan sebagai begikut:
Calon istri:
Berparas cantik
Kerabat yang jauh
Masih gadis
Sempurna akalnya
Baik budi pekertinya
Sedikit maharnya
Dan baik nasabnya

Adapun alasan yang mendasari dalam memilih seseorang sebagai pendamping hidup adalah:
Karena kekayaannya
Karena kecantikannya
Karena keturunannya
Karena agamanya
Namun landasan agama hendaknya mendapatkan prioritas paling pertama, kalau memang harus memilih di antara empat yang ada. Dan dimakruhkan memilih seseorang dari hasil perzinaan, Fasiq, dan tidak jelas nasabnya.

Seyogyanya seorang calon istri di bawah suami dalam empat perkara:
Umur
Tinggi badan
Harta
Juga Nasab/asal keturunannya
Dan calon istri berada di atas suami dalam empat perkara pula:
Kecantikan
Adab
Akhlak
Wira`i (menjaga dari perbuatan maksiat)

Demikian syari`at menggariskan, kriteria ini sebenarnya bukan sepihak hanya untuk mengatur seorang lelaki dalam memilih calon istrinya, tapi juga untuk wanita dalam menentukan calon suaminya, dengan aturan memilih calon ini diharapkan akan lebih siap serta dewasa menghadapi pergulatan hidup, menuju bahagia selamanya dari dunia sampai akhirat.