RESEPSI PERNIKAHAN


Tanya:
    Assalamu’alaikum Wr. Wb. Gus Yusuf yang saya hormati, kebahagian sepasang pengantin lebih lengkap bila orang lainpun ikut marasakan kebahagiaan itu. Sekarang saya ingin bertanya, sejauh mana Islam memandang resepsi pernikahan ini, sehingga Rasul sangat menganjurkannya, sekian, Wassalam.
Dari Sutanto, Magelang.

Jawab:
Memang benar, kurang lengkaplah rasanya kebahagiaan sepasangan pengantin baru, bila orang-orang di sekitarnya tidak ikut merasakan. Moment sebagai bentuk berbagi rasa kebahagiaan itu dalam Islam -setelah seseorang melalui aqad nikah- dikenal dengan istilah Walimah ‘Urs (resepsi) yaitu hidangan yang disajikan untuk pernikahan yang dilaksanakan setelah adanya aqad.

Sebenarnya kata “Walimah” ini tidak khusus pada pernikahan,  bisa juga digunakan untuk acara-acara yang lain seperti Khitan, Aqiqoh, Haji dan sebagainya, akan tetapi penggunaan kata Walimah yang paling masyhur memang dalam pernikahan, jadi ketika dikatakan walimah maka asumsinya langsung ke Walimatul `Urs  (resepsi pernikahan).

Adapun tujuan diadakannya Walimatul `Urs ini adalah untuk Idzharussurur (memperlihatkan kebahagiaan), sebab termasuk menyukuri ni’mat Allah swt. sebagaimana sabda Rasullah saw:
   التَّحَدُّثُ بِالنِّعْمَةِ شُكْرٌ
“Menceritakan Ni’mat Allah adalah syukur.”

Walimah untuk pernikahan ini hukumnya Sunnah Muakkad bagi pengantin laki-laki atau wali dari pengantin laki-laki yang tidak rosyid (berakal normal).

Perayaan ini selaras dengan keterangan dari beberapa referensi Islam yang diambil dari sunah Rasulullah saw. bahwasanya beliau mengadakan walimah ketika menikahi sayyidah Shofiyah dengan kurma, minyak Tsamin dan mentega, juga perintah beliau kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf di saat dirinya menikah:
قَالَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بنِ عَوْفٍ  وَقَدْ تَزَوَّجَ " أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ "  (رواه البخارى )
“Nabi saw bersabda kepada ‘Abdirrahman bin ‘Auf ketika ia telah menikah : “Adakanlah walimah, walaupun dengan satu kambing.  (HR. Bukhori)

Sedangkan mengadakan walimatul `Urs ini sunnahnya dilaksanakan setelah terlaksanakanya aqad nikah, dan yang lebih afdlol (utama) adalah setelah berhubungan badan dengan sang istri untuk yang peratamakali (dukhul/merawani), sebagaimana Rasulullah saw. tidak pernah mengadakan walimah pernikahannya kecuali setelah mendukhul istrinya. Dan menurut Imam Ibnu sholah, pelaksanaan walimah yang utama adalah malam hari.

Untuk kesunnahan melaksanakanya tidak terbatas oleh waktu, meskipun setelah berselang waktu yang lama atau istri sudah ditalaq atau bahkan setelah salah satunya sudah meninggal, tetap saja mendapatkan kesunnahan untuk mengadakan walimah tersebut.

Yang perlu diperhatikan adalah tidak boleh membeda-bedakan derajat atau status sosial, mulai dari saudara, tetangga, faqir miskin atau kaya, semuanya mendapatkan sambutan dan jamuan yang sama. Ada satu hadits dalam Fatchul Wahhab, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ اْلوَلِيْمَةِ  يُدَّعَى اِلَيْهَا الأَغْنِيَاءَ وَتُترَكُ اْلمِسْاكِيْنُ , وَمَنْ لَمْ يَأْتِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُولَهُ  (رواه البخارى و مسلم)
“Sejelek-jeleknya suguhan adalah makanan yang disuguhkan pada waktu Walimah, sedangkan yang diundang adalah orang-orang kaya dan meninggalkan orang-orang miskin. Barang siapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. (HR. Bukhori Muslim)

Saya kira cukup penjelasannya, semoga bermanfaat, Wallahu A’lam