AWAL MENAPAKI KEHIDUPAN BARU

Awal dari proses menempuh kehidupan dunia nyata, sebuah ikatan antara dua anak manusia yang bersatu dalam janji sehidup semati. Sebuah tekad yang terucap dari sepasang insan untuk hidup bersama menjadi bukti kesiapan mereka menuju kemandirian, fase dimana kerjasama adalah kunci pokok sampainya bahtera yang bernama keluarga di negeri kebahagiaan, itulah gambaran sederhana pernikahan.

Merujuk pada pengertian dasar pernikahan, secara syari`at dapat diartikan sebagai bentuk aqad yang mengandung halalnya persetubuhan antara laki-laki dan perempuan kemudian memenuhi tanggung jawabnya masing-masing sebagai suami istri. Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara dan perempuan sebagai suami istri, dengan tujuan untuk membetuk rumah tangga yang bahagia kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Kuasa.

Pernikahan akan dapat terasa nikmat dan hikmahnya bila sepasang suami istri memahami makna terdalam arti sebuah pernikahan, dan nampaknya makna ini akan tergali hanya bagi mereka yang mampu melihat peran serta fungsi nikah dalam kehidupannya. Bahwa nikah mampu memanage nafsu atau nikah mampu memberikan kedamaian. Nikah adalah penyambung tali silaturahim atau menambah persaudaraan dan nikah sebagai Surga juga sebaik-baik tempat kembali. Ini hanya sebagian dari nilai-nilai pernikahan yang akan dapat dirasakan setelah syarat dan prasyarat menuju kebahagiaan itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Berbicara tentang kebahagiaan itu sebenarnya sederhana permasalahannya, tinggal bagaimana di dalamnya dapat tumbuh keseimbangan, yaitu keseimbangan dalam menakar kebutuhan dunia dan akhirat secara proporsional. Terlalu memporsir pencarian dunia, dampak yang mungkin pertama kali muncul adalah keringnya keluarga dari nilai-nilai religi, kemudian beralih runtuhnya bangunan spiritual dari tiap-tiap pribadi yang ada di dalamnya. Pada akhirnya, hilanglah kekayaan yang paling berharga yaitu kekayaan ruhani atas pengertian kekuasaan Allah swt pada tiap makhluk-Nya. Begitu juga sebaliknya, manakala kebutuhan dunia dilupakan, bagaimana mungkin sesorang akan mampu memelihara dirinya, apalagi sampai menghidupi anak dan istri tanpa berusaha untuk meraih semua itu?

Dengan demikian, nikah akan menjadi momen dimana seseorang akan bisa menemukan kebahagiaaan abadi bila syarat dan prasyarat pencapaiannya terpenuhi, dan berbalik menjadi laknat yang menakutkan di saat aturan-aturannya diabaikan.

Adalah sebuah keharusan bagi mereka yang memiliki kesiapan melangkah ke jenjang pernikahan, untuk terlebih dahulu mengetahui rukun dan syarat-syaratnya nikah serta beberapa hukum yang berhubungan sebagai bekal dan kesiapan membawa bahtera besar bernama keluarga. Bisa saja dengan cara belajar dari sumber-sumber hukum Islam yang Mu’tabar (dapat dipertanggung jawabkan) berupa kitab-kitab karangan para Ulama, buku-buku tentang nikah atau lebih tepatnya langsung kepada seorang guru yang sudah diyakini ke’alimannya.

Ketentuan ini tidak hanya terpaku pada kedua calon mempelai saja tapi kedua saksi dan walipun harus mengerti tentang hukumnya, paling tidak mengetahui pokok-pokok hukum serta sesuatu yang berhubungan dengan posisi yang ia perankan nanti, misalnya wali atau saksi, dia haruslah mengerti akan syarat-syaratnya sebagai seorang wali atau saksi serta apa saja yang harus dia lakukan dalam aqad pernikahan dan begitu seterusnya, ini wajib dilakukan karena dalam pernikahan memang tidak bisa lepas dari peran beberapa pihak ini.

Karena rukun dan syarat nikah berpengaruh pada sah dan tidaknya pernikahan, maka satu saja syarat atau rukun nikah tidak terpenuhi, jelaslah berimbas pada keabsahannya sebuah pernikahan menurut syari’at Islam, padahal apabila pernikah tersebut belum dikatakan sah maka antara kedua mempelai, belum pula dikatakan sah sebagai suami istri dan itu berarti masih berlakunya larangan melakukan hubungan selayaknya suami istri, jadi belum ada hak-hak dan kewajiban sebagai suami istri dan yang lebih mengerikan, apabila keduanya melakukan hubungan intim (bersetubuh), maka masih dikategorikan berbuat zina Na’udzubillahhi min dzalik.

Sebagai perhatian saja, untuk saat ini berkembang cukup luas di sebagian kalangan tentang yang jelas-jelas merubah hukum yang sudah ditetapkan, dan dengan beraninya mereka  merubah beberapa syarat dan rukun nikah yang sudah ditetapkan oleh para Ulama’ terdahulu, bahwa pernikahan bisa dilaksanakan dengan tanpa adanya wali atau dua saksi, artinya -menurut mereka- seorang laki-laki bisa langsung menikahi perempuan yang dia cintai yang penting keduanya suka sama suka, maka tidak masalah. Jelas sekali bertentangan dengan apa yang selama ini berjalan di kalangan kita, hendaknya pernyataan ini disikapi lebih dewasa dan dengan kesadaran akan syari’at yang sudah baku ini, bahwa ada rahasia dan hikmah di balik semua hukum yang sudah ditetapkan yang kadang kita belum menyadarinya. Dan lebih ironis lagi ada pula sebagian golongan yang mengesahkan nikah Mut’ah, padahal jelas-jelas Nabi saw. melarangnya dengan keras.

Ada beberapa bentuk praktek pernikahan yang dilarang agama karena efek negatif yang ditimbulkannya. Praktek nikah itu di antaranya:

Nikah Mut’ah
Yaitu perkawinan sementara dengan tujuan untuk mendapatkan kesenangan selama bersuami-istri dalam jangka waktu tertentu, dengan tidak ada mas kawin, tidak ada nafkah, tidak ada ‘iddah dan tidak ada warisan. Jadi beralasan sekali nikah seperti ini diharamkan, sebagaimana larangan beliau Rasulullah saw. dalam haditsnya:
عَنِ الرُّبيْع بن سَبْرَة عَن أَبيْهِ أَنَّ النَّبيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نهَى عَنْ نِكاَحِ اْلمُتعَةِ. ( رواه مسلم )
“Dari Robi’ bin Sabroh dari ayahnya bahwa sesungguhnya Nabi saw. melarang adanya nikah Mut’ah.” (HR. Muslim)
Dari keterangan ini jelaslah Rasulullah melarang adanya nikah Mut’ah.

Nikah Syighar
Yaitu seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain: “Kawinkanlah untukku anak perempuanmu, lalu akan kukawinkan anak perempuanku untukmu, atau kawinkanlah aku dengan saudara perempuanmu, lalu akan kukawinkan saudara perempuanku untukmu.” Dan perkawinan antara keduanya tidak disertai mahar (mas kawin). Nikah yang demikian hukumnya tidak sah.  
عَنِ ابْن عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلىَّ الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ نهَى عَنِ الشِّغَارِ (رواه مسلم)
“Dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah saw. melarang adanya nikah Syighar.” (HR. Muslim).

Demikian kiranya menjadi dasar dalam menilai betapa serasi dan selaras hukum-hukum yang Allah tetapkan untuk makhluk-Nya.